Teroris Abu Sayyaf |
“Mereka acak saja, ada Muslim, ada bukan Muslim. Inti persoalannya bukan di situ, kapal ini kan bawa barang berharga, bawa batubara. Jadi ini milik perusahaan yang kaya. Jadi yang dipertaruhkan itu bukan orang disandera. Ini ada permintaan tebusan. Ini adalah bentuk pemerasan terhadap perusahaan (semata),” ungkap Nasir ke BBC Indonesia, Kamis (31/03).
Sebelumnya, pada pertengahan 2014, kelompok separatis yang terdiri dari milisi Islam dan berbasis di kepulauan selatan Filipina, seperti Jolo, Basilan dan Mindanao itu, disebut-sebut telah berbaiat kepada kelompok yang menamakan diri mereka Negara Islam atau ISIS.
ISIS dikenal ‘tidak pandang bulu’ dalam melakukan aksinya.
Islamic State (IS) insurgents, Anbar Province, Iraq wilkipedia images |
Menurut Nasir, Abu Sayyaf hanya “ikut-ikutan saja (bergabung dengan ISIS). Perbuatan yang mereka lakukan itu, sudah lebih dahuluan dari ISIS. Masalah menculik, membunuh, mereka sudah lebih dahuluan dari ISIS.”
Pemerintah pertimbangkan menebus 10 WNI yang disandera
Filipina tak anjurkan RI bayar tebusan guna bebaskan sandera
Aidil was-was menunggu kabar putranya yang disandera Abu Sayyaf
Sejak terpecah dari kelompok induknya, Moro National Liberation Front atau MNLF pada pertengahan 1980an, Abu Sayyaf telah menculik ratusan orang. Mayoritas yang disandera adalah orang Filipina dan orang kulit putih.
Tidak jarang sandera tersebut dibunuh, terutama yang tidak memenuhi permintaan tebusan.
Terakhir, pada November 2015, turis Malaysia, Bernard Ghen Ted Fen dibunuh setelah keluarga gagal memenuhi tebusan 40 juta Peso Filipina atau setara Rp12 miliar.
Tidak terkontrol
Nasir Abbas, yang pernah menjadi anggota kelompok separatis di Filipina mengungkapkan, Abu Sayyaf, berbeda MNLF, dan pecahan lain MNLF, Moro Islamic Liberation Font (MILF).
Meskipun sama-sama memeluk Islam dan memperjuangkan kemerdekaan dari Filipina, Abu Sayyaf dikatakan Nasir, lebih tidak terkontrol, karena anggotanya bergabung karena “solidaritas”, cenderung “tidak berpendidikan dan minim pengetahuan”, sehingga bergerak melakukan perlawanan karena “merasa terintimidasi dan didiskriminasi” oleh pemerintah Filipina.
“Mereka seperti gerombolan-gerombolan dengan banyak sel. Pimpinannya saja tidak tahu berapa jumlah anggotanya”.
Turis yang menjadi sandera Abu Sayyaf di Filipina |
“Karena tidak mustahil ada di kalangan mereka yang bandit dan penjahat. Jadi, dalam memenuhi kebutuhan mereka, terutama perlengkapan senjata, amunisi, perlu biaya. Dari mana? Mereka tak dapat sumbangan dari luar negeri, mereka bukan orang kaya, bukan pengusaha.”
Pemerintah hati-hati
Tiga hari setelah mendapatkan informasi bahwa 10 WNI disandera oleh milisi Abu Sayyaf di Filipina, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengaku masih terus berkomunikasi intensif dengan Kemenlu Filipina, untuk mencari opsi terbaik dalam membebaskan sandera.
“Informasi mengenai pergerakan, posisi, dan kondisi para sandera, dari waktu-ke waktu telah kita peroleh. Kemenlu telah lakukan pula komunikasi dengan pihak keluarga ABK.”
Namun, Kemenlu tampak berhati-hati dalam menyampaikan informasi.
Sejumlah orang bersenjata yang tergabung dalam kelompok Abu Sayyaf. |
Abu Sayyaf disebut hanya akan membebaskan sandera jika uang tebusan 50 juta Peso Filipina atau setara Rp15 miliar, dibayarkan.
Sementara, militer Filipina yang menyebut bahwa keterlibatan militer Indonesia dalam operasi pembebasan sandera tidak dimungkinkan perundangan, juga tidak menganjurkan Indonessia melakukan pembayaran uang tebusan.
sumber bbc.com
EmoticonEmoticon